 |
Novel Al-Hambra Di Atas Alhambra |
Bintang Diatas Alhambra (BDA) - Alhamdra yang Melintas Waktu
Kecenderungan novel autobiografi biasanya berisi tentang festivalisasi narsisme yang habis-habisan mengeksplorasi pengalaman hidup tokoh utamanya sendirian saja. Biasanya penulis menggunakan kata ganti orang pertama; “aku” dalam menuturkan cerita. Kerap kali sosok “aku” ini menceritakan segala hal dengan pusat cerita dirinya sendiri, dan cenderung abai terhadap tokoh-tokoh lain atau tempat-tempat dalam membangun narasi dan alur cerita.
Tapi dalam novel Bintang Diatas Alhambra (BDA), kita tidak menjumpai itu. Kita diajak berpetualang pada sebuah bentangan sejarah yang kadang acak, dimana siklus waktu menjadi tidak relevan, masa lalu dan masa kini melebur menjadi satu, untuk kemudian merajutnya menjadi sebuah masa depan. Sebuah petualangan masa kini yang secara bersamaan menghadirkan bentangan masa lalu.
Pada novel-novel autobiografi, biasanya waktu diposisikan sebagai subordinasi gerak yang diukur secara dinamis sebagai sebuah proses dari aksi ke reaksi yang mana penyajian waktu digambarkan dalam bentuk-bentuk kronologis:Past, Present, dan Future- seperti gerak mekanik jarum jam, sehingga montage (gaya pemotongan) dalam mengaturplot atau alur cerita mengekspresikan perubahan, dan memberi bentuk atas waktu. Tapi dalam Bintang Diatas Alhambra (BDA), kita tidak akan menemukan penyajian waktu seperti itu. Dalam hal ini, sang penulis BDA, Ang Zen, membuat deskripsi waktu seakan-akan dibebaskan dari gerak. Ia berusaha memporak-porandakan pakem. Ia mencoba menampilkan sebuah gaya bertutur yang, meminjam istilah Gilles Deleuze, disebut dengan “Imaji-Waktu”.
Imaji-waktu atau imaji langsung atas waktu ialah sebuah sajian di mana imaji tidak lagi menjadi “pelayan” dari sebuah cerita. Ia datang dengan berbagai sensasi dan kejutan disana-sini. Dengan ungkapan yang berbeda, pergantian imaji tidak lagi dapat diduga, ia tidak kronologis. Salah satu bentuk imaji-waktu yang tidak kronologis ini, sudah bisa kita rasakan pada baris pertama novel ini : “Terik matahari tiada ampun menghajar Sierra Nevada. Langit sepenuhnya biru ketika penduduk lokal tengah bersiap untuk siesta ”.
Dengan mengambil setting Granada, Ang Zen telah menampilkan imaji tak langsung atas waktu, di mana alur cerita dapat dipahami melalui skema sensori-motorik, imaji-persepsi, imaji-afeksi, dan imaji-aksi. Dengan pilihan tidak memulai diksi pertama dari bagian cerita Mimpi di Pesantren , melainkan dimulai dari Pesan Lelaki Tua di Albaicinadalah sebuah strategi penulisan yang tepat dan luar biasa. Ia memporak-porandakan pakem skenario penulisanskema tiga babak (Perkenalan, konflik, dan rekonsiliasi).
Novel Islam ?
Novel ini bercerita tentang kisah Syarif atau Iip, seorang santri Nahdliyyin yang berasal dari sebuah desa kecil di Kuningan, Jawa Barat. Ia mengenal Spanyol pertama kali bukan dari kehebatan tim sepakbolanya, melainkan dari literatur Islam klasik seperti buku Nadzom yang membahas struktur gramatika bahasa arab seperti buku Alfiyyahkarya Ibnu Malik al-Andalusi. Yang mana pengajaran di pesantren tradisional khas Nahdliyyin memang lebih banyak diisi oleh literatur-literatur yang berasal dari abad pertengahan.
Tetapi nasib telah menghantarkan Iip untuk menginjakkan kaki langsung di pusat peradaban Islam abad pertengahan itu. Ia yang dulu hanya mendengar cerita kejayaan peradaban Islam yang berakhir pada abad ke 15 di Andalusia ketika ia di Pesantren, kini berada persis di pusat peradaban Islam peninggalan Dinasti Abbasiyah itu. Dengan takjub ia menyaksikan Alhambra, istana indah penuh aura magis di Granada, Spanyol. Uniknya, pembaca dibawa berputar dulu ke Melbourne, Australia dengan cerita keluarga kecil di perantauan yang mengharu biru. Dari sanalah petualang menuju Alhambra dimulai, bersama Lisa Gomez, sahabatnya yang sering mengundang cemburu istrinya.
Jika kita bandingkan dengan Novel Laskar Pelangi karya Andera Hirata atau Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazzy, maka Bintang diatas Alhambra adalah sintesis dari keduanya. Bahkan, jika Laskar Pelangi lebih banyak mengeksplorasi perjuangan anak kampung yang kemudian berhasil menempuh pendidikan tinggi di eropa, maka BDA mengeksplorasi kehidupan pesantren tradisional di kampung yang juga penuh warna.
Bintang Diatas Alhambra mengambil setting yang menarik, terbentang dari desa kecil di tanah Parahyangan, lantas ke Melbourne dan berujung di Granada, kota pusat peradaban dunia beratus tahun silam. Jika AAC mengambil setting Kairo, tempat tokoh utama menyelesaikan kuliah, maka BDA mengambil latar Melbourne dan Eropa, juga dengan nuansa kehidupan mahasiswa. Tetapi, jika AAC berani mengambil tema poligami dan perselingkuhan yang mengharu biru, maka BDA tidak masuk ke wilayah itu, meskipun sang tokoh utama, Iip, hidup dalam bayang-bayang dua orang perempuan, yakni Lisa Maria Gomez, sahabatnya dan “Mbun”, istrinya.
Namun, seperti halnya novel Laskar Pelangi dari Andrea Hirata, Salah satu hal yang perlu dikritisi dari novel Bintang Diatas Alhambra adalah muatan nilai-nilai politik etis yang merupakan warisan dari zaman kolonialisme. Pada kedua novel tersebut, penggambaran bahwa peradaban barat lebih maju ketimbang peradaban timur, atau Barat lebihcivilized ketimbang Timur/dunia ketiga sangat terasa. Konsepsi tersebut persis seperti ketika pemerintahan kolonial hindia belanda menerapkan kebijakan politik etis belanda tentang pendidikan untuk pribumi. Tujuan pemerintahan kolonial belanda pada waktu itu adalah: “Membuat kulit hitam (asia) berhati seperti kulit putih(eropa)”. Konsepsi inferioritas inlander ini, suka atau tidak suka, memang masih terasa.
Tapi di atas semua itu, novel Bintang diatas Alhambra merupakan terobosan besar dari tradisi bertutur dalam dunia sastra. Selain bermutu, buku ini juga bisa menjadi referensi tentang perubahan sosial kaum sarungan. Lebih dari itu, cerita ini menunjukkan bahwa ada lompatan besar dari Iip, kaum santri sarungan yang berkonotasi kampungan, tidak terpelajar, dan terbelakang, menuju santri canggih par excellence ala Cak Nur (Nurcholish Madjid).
Judul Buku : Bintang di Atas Alhambra
Penulis : Ang Zen
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Genre : Novel petualangan
Penerbit : Bunyan, Kelompok Bentang Pustaka
Terbit : November 2013
Halaman : x, 358
ISBN : ISBN 978-602-7888-86-9
Sa’duddin Sabilurrasad: Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
Connect With Us