Slider Background

Main Text

PERHIMPUNAN PENGEMBANGAN PESANTREN DAN MASYARAKAT
Humanis, Kritis, Transformatif, dan Berorientasi Praksis
About Us

Slogan Section

Direktori Pesantren Indonesia

Service Section

Donec convallis accumsan elit, ac interdum.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Fusce pretium, nisl et dignissim dictum, sapien

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Donec convallis accumsan elit, ac interdum.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Donec convallis accumsan elit, ac interdum.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Fusce pretium, nisl et dignissim dictum, sapien

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Donec convallis accumsan elit, ac interdum.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Fusce pretium, nisl et dignissim dictum, sapien

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.

Parallax Section

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea.
Read More

Portfolio

All

Berita

Publikasi

Galeri

Agenda

Jumat, 21 Maret 2014

Ahlusunnah wal Jamaah - Aswaja
Para aktivis NU dari berbagai institusi berkumpul dalam sebuah lokakarya yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Aula P3M, Jalan Cililitan Kecil III No 12 Kramatjati, Jakarta, Jumat (21/3). 

Acara ini diselenggarakan sebagai media silaturahmi antarkomunitas kader muda NU yang merasa galau dengan perkembangan media sosial di dunia maya dewasa ini. Workshop bertema "Strategi Media dalam Penyelenggaraan Islam Damai dan Mengawal Pelayanan Publik yang Baik." 

Menurut Ketua Panitia Tita Radhiatan, acara ini akan digelar hingga Sabtu (22/3) sore. Hadir selaku narasumber sesi pertama, Syafi’ Alielha, pemimpin redaksi NU Online, mendampingi Direktur Eksekutif Matriks Indonesia Agus Sudibyo. 

Dalam pengantar awalnya, Syafi’ mengurai sengkarut situs Islam yang menebar kebencian. "Setidaknya ada empat situs yang sangat tinggi great-nya di dunia maya: ar-rahmah.com, dakwatuna.com, voa.islam.com, hidayatullah.com," paparnya.

Selain itu, lanjut Syafi’, ada beberapa situs yang diberi label Islam, misalnya, detikislam.com, kompasislam.com, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, katanya, ketika kita mencari di mesin pencarian Google dengan kata kunci "Islam" maka yang keluar adalah tulisan atau berita dari website-website tersebut.

"Hal inilah yang patut segera kita jawab. Masak warga NU yang katanya jutaan itu tak mampu bikin web seperti mereka. Kita memang telah punya NU Online, tapi belum cukup. Mereka kecil, tapi dikelola dengan baik. Itu bedanya," tegas Syafi’.

Sementara itu, Agus Sudibyo justru tidak terlalu merisaukan keberadaan situs garis keras tersebut. Pasalnya, dia berpendapat tidak semua yang berbasis internet adalah pers. "Penegasan ini diperlukan karena muncul salah paham bahwa media sosial merupakan bagian dari pers. Karena para aktivis media sosial menyebut dirinya sedang praktik jurnalisme warga," ujarnya.

Hingga berita ini ditulis, kedua puluh aktivis dari berbagai institusi berbasis warga NU itu masih menggodok formula dan strategi menghadapi kicauan media Islam garis keras. "Kita harus secepatnya merumuskan bagaimana langkah kita ke depan," kata Agus Muhammad, salah seorang utusan dari Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) pusat. (Ali Musthofa Asrori/Mahbib)


Post: NU online
Link: http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,50922-lang,id-c,nasional-t,Para+Aktivis+NU+Rancang+Strategi+Media-.phpx
Read More
Para Santri Membuat Film Dokumenter
Oxi Septinina, santriwati yang menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Al Muayat, memotret sisi menarik dalam kehidupan sosial masyarakat kota Solo, Jawa Tengah. Bersama beberapa temannya, gadis remaja berusia 17 tahun ini menggambarkan toleransi antar masyarakat kota warisan kerajaan Mataram dalam satu film dokumenter.

Dalam dokumentasi gambar bergerak itu, Oxi berperan ganda, sebagai sutradara film sekaligus pemeran utama bernama Anisa. Dokumenter ini disajikan dengan mengisahkan seorang gadis remaja putri yang keseharian belajar agama dan mengaji di pesantren. Dia gelisah dengan maraknya kelompok ekstrem, kelompok teroris ditangkap di kota tersebut yang ramai menghiasi pemberitaan media massa.

Bersama lima temannya, yakni Laula Sawitri Hilman, Siti Zaenab, Anisa Nur Khasanah, Yuyun Najihah Al-Kholisi, dan Ashfiya, gadis remaja itu pun melahirkan karya film dokumenter berjudul 'Satu Alamat'. Film yang diproduksi oleh para santriwati Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo, sarat dengan nilai-nilai kerukunan antar umat beragama yang hidup berdampingan dan antikekerasan. Film itu dibikin sekitar Januari tahun lalu.

Dalam perbincangan dengan VIVAnews, Oxi menjelaskan, film pendek ini menceritakan kerukunan umat beragama di salah satu sudut kota Solo, yaitu di Jalan Gatot Subroto nomor 222, Serengan. Kerukunan itu tergambarkan lewat bangunan yang berdiri berdampingan dalam satu pekarangan, Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Di masjid ini tidak ada bedug, begitu pula dengan gerejanya, tidak ada lonceng. Dengan demikian, pemeluk dua agama itu tidak saling mengganggu saat beribadah. 
"Dengan gambar ini membuktikan bahwa Solo bukan kota teroris," kata Oxi beberapa waktu lalu. 

Bagi Oxi, tak adanya dua benda simbol agama--bedug dan lonceng-- memberikan sebuah pembelajaran menarik. Menurutnya, agama itu bukan sekadar simbol, tapi juga menyangkut pembinaan hubungan horizontal antar umat beragama.

"Kami mengambil gambar di gereja pada hari Minggu saat jemaat beribadah. Mereka semua ramah, bahkan melihat kami lama berdiri mengambil gambar, mereka menyediakan saya kursi," tuturnya.

Dari film dokumenter ini, para santri belajar untuk memahami dan pengembangkan nilai toleransi. Oxi bersama temannya belajar bahwa membina kerukunan umat beragama sangat penting. Mengamalkan salah satu ayat dalam Alquran yang berbunyi: "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

Seadanya

Penggagas ide cerita film dokumenter ini, Ashfiya Nur Atqia (19) mengatakan, mereka membuat film tersebut dengan peralatan seadanya. Hanya menggunakan kamera handycamkecil. Sebelum memproduksi film tersebut mereka mendapatkan pelatihan singkat dengan teman-temannya dari lembaga Search For Common Ground.

"Karena kami pemula, sebelum produksi film kami di-training hanya tiga hari," kata remaja putri yang duduk di bangku kuliah Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut.

Ashfiya yang memiliki hobi nonton film ini menceritakan, sejak kecil ia sering di ajak jalan-jalan menyusuri sudut kota Solo oleh ayahnya. Dalam jalan-jalan itu, dia dan ayahnya kerap melewati dua tempat ibadah yang berbeda agama tersebut. "Sejak kecil saya sering lewat sana," tuturnya.

Salah satu bentuk toleransi kedua umat beda agama itu, lanjut Ashfiya, apabila di gereja menggelar kebaktian saat jam Salat Magrib, mereka menunggu umat muslim selesai Salat di Masjid terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya, saat umat kristiani merayakan hari Natal, yang muslim juga ikut membantu.

Film 'Satu Alamat' ini merupakan salah satu film peserta Festival Film Santri 2013 yang digagas oleh Search for Common Ground, organisasi nirlaba yang concern dengan promosi perdamaian dan toleransi. Program yang didukung oleh The Wahid Institue dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini membekali santri-santri dengan keterampilan produksi radio dan video dokumenter untuk menyuarakan nilai Islam yang damai dan toleran.


Post: Viva News

Read More
Agus Sudibyo dan Savic Alieha -
Workshop Strategi Media dalam Penyebaran Islam Dama dan Mengawal Pelayanan Publik

Pesan NU di Media Lebih Diterima Masyarakat

Banyaknya pengunjung yang mengakses situs-situs Islam yang cenderung radikal dan intoleran bisa saja disebabkan karena mereka memang dimobilisasi untuk itu dan karena mereka tidak diterima oleh realitas sosial di masyarakat sehingga gerakan mereka begitu masif dunia maya.

Demikian ditegaskan oleh Direktur Matriks Indonesia, Agus Sudibyo dalam Workshop bertajuk Strategi Media dalam Penyebaran Islam Damai dan Mengawal Pelayanan Publik yang Baik yang digelar oleh Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta, Jumat (21/3). 

“Ini sebetulnya potensi media yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU), sebab pesan-pesan NU di media siber dan media sosial lebih bisa diterima oleh masyarakat,” terang penulis buku 50 Tanya Jawab Tentang Pers ini. 

Dia menjelaskan bahwa situs-situs Islam radikal sama sekali tidak berprinsip pada kode etik jurnalistik. “Berita-berita yang mereka buat tanpa melalui cek, ricek maupun kroscek,” ungkapnya.

Dia juga menuturkan bahwa hal ini sesungguhnya bisa diadukan secara hukum melalui Dewan Pers, karena sebagai penyedia informasi, meraka jauh dari dari kaidah-kaidah pers yang mengungkap fakta dan berimbang. “Kita bisa mengadukannya secara hukum, dan mereka tidak akan mendapat perlindungan Dewan Pers, karena mereka bukan bagian dari pers,” tegasnya.

“Kita harus mencoba menekan itu kepada Dewan Pers dan Kemenkominfo, jangan berparadigma bahwa berinternet bersih hanya dengan memblokir situs-situs porno, situs Islam radikal juga sangat meresahkan masyarakat,” pungkasnya.

Workshop ini berlangsung dua hari, 21-22 Maret 2014 dan diikuti oleh para aktivis media diantaranya Pemimpin Redaksi NU Online dan pendiri situs Islami.co Syafiq Ali, peneliti The Wahid Institute Alamsyah M Djafar, Salah satu Direktur Surya Institute Imam Malik, dan Pendiri Majalah Surah Sastra Hamzah Sahal. (Fathoni/Abdullah Alawi)
Read More

Selasa, 11 Maret 2014

Lain Hariri Lain "Ustad Ingkar Janji"
ilustrasi Ustadz - imagemenittv
Adegan itu mirip pertandingan pencak silat yang tak seimbang. Leher lelaki berjaket hitam itu diinjak paksa dengan lutut kiri. Lutut itu milik lelaki muda yang tenar dipanggil Ustad Hariri. Ustad yang namanya dilambungkan sebuah audisi televisi itu memang bukan sedang bertanding pencak silat. Ia sedang berceramah agama di hadapan ratusan orang. Ceramah lalu berubah ngomel-ngomel dan makian dalam bahasa Sunda. Klimaknya, pertandingan pencak silat tak seimbang tadi. 

Orang marah dengan kelakuan Hariri. Rekaman adegan yang dipampang di youtube dibanjiri gelombang murka. Saya tak lagi sebut Ustad. Sebab, sebagian mereka yang marah, minta Hariri berabut gondrong tak disebut ustad. “Itu sih preman,” kata seseorang saat diwawancarai televisi. Saya setuju sebagian. Setuju untuk adegan ngomel-ngomel dan injakan leher. 

Dunia dakwah di layar kaca memang sering berubah jadi bisnis dan industri. Ia seringkali ditopang citra saleh. Ini yang membuat mereka bertahan atau melorot. Dan saya menduga, setelah ini “karir”nya bakal wassalam, setidaknya jumlah panggilan melorot tajam. Ia mungkin akan muncul di layar kaca. Tidak sedang berceramah, tapi sedang “dikuliti” infotainment tentang kasus itu. Tak ada stasiun yang mau menampungnya lagi. Tak ada pengiklan yang menempelkan citra produknya dengan kegiatannya. Bikin runyam! 

Sebagai bisnis dan industri, Hariri yang makin tenar –tentu sebelum ini—bakal dibarengi dengan kebutuhan yang terkerek. Harus ada biaya manajemen, kostum, dan biaya entertain lain. Seperti ustad-ustad muda televisi lain, kostum Hariri mirip model peragaan “busana islami”. Warna udeng-udeng dengan baju selalu senada. Mungkin itu persiapan peluncuran Hariri Collection. 

Dengan beban makin tinggi, aktivitas ceramah ini mau tak mau harus “bertarif”. Tarif menunjukan kelas. Makin mahal, makin berkelas. Mungkin pula manajemennya selalu getol menasihati agar ingat, bukan hanya target break even point (titik impas), tapi penghasilan yang berlebih. 

Nah, inilah yang ingin saya ceritakan. Kisah peceramah dan tarif. Ini kisah tentang seorang ustad asal Jakarta. Sebut saja Ustad Ingkar Janji. Ustad ini putera mubalig kondang asal Jakarta yang juga sering muncul di layar kaca. 
Lewat rapat bersama, masyarakat Pulau Tidung Kepulauan Seribu merencanakan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H pada 5 Februari 2014. Panitia memutuskan mendatangkan Ustad Ingkar Janji ini. 
Untuk mengundang Ustad, pertengahan November tahun lalu panitia menghubungi seorang lelaki yang yang konon saudara dekat sekaligus manajer si Ustad. Pada 23 November, lewat pesan singkat, lelaki yang bekerja sebagai PNS Kementerian Agama ini menginformasikan, Ustad bakal hadir. “Oke Bu, Ustad bisa hadir undangan Maulid Pulau Tidung tanggal 5 Februari,” katanya. 

Untuk mendatangkan, tarif yang disepakati Rp 7 juta. Pada 3 Januari, panitia mengirim via bank Rp 1 juta sebagai “tanda jadi”. Karena mempertimbangkan cuaca, panitia menghubungi si Manajer. Panitia mengusulkan waktu Maulid diubah. Panitia mempertimbangkan kondisi cuaca. Usulan ditolak. Alasannya, jadwal Ustad sudah padat. 
Hingga dua hari sebelum acara, Ustad dipastikan bakal hadir. Tapi kepada panitia, si manajer ini meminta honor Ustad ditambah jadi Rp 8 juta. “Ustad takut ombak. Kalau ditambah pasti datang,” katanya. Kenaikan bisa “digoyang”. Hanya tambah Rp 500 ribu. 

Di hari H, pagi panitia berubah jadi neraka. Sekitar pukul 07.30, Ustad belum nongol di dermaga Ancol, Jakarta Utara. Kapal cepat sudah disiapkan. Cuaca bersahabat. Panitia menghubungi si manajer. Tak tersambung. Kontak Ustad yang berhasil didapat juga dihubungi. Sama. Tak tersambung. 

Sia-sia. Putus asa. Akhirnya kapal cepat yang disiapkan mesti diberangkatkan. Penumpangnya, panitia, qari asal Jakarta, dan pejabat pemerintah, tanpa Ustad. 

Di lokasi, di masjid Nurul Huda, pukul 08.30, seribu orang sudah berkumpul. Kaum bapak, ibu, pemuda-pemudi, pelajar SD hingga SMA memadati masjid. Mereka antusias menunggu ustad asal Jakarta. Ustad putera mubalig kondang. Dipastikan tak datang karena tak ada kabar, akhirnya panitia memberi tahu ustad yang ditungg-tunggu batal hadir. Pukul 10.00 WIB. Sepanjang itu, panitia terus berusaha menghubungi dan sia-sia. Sebagian kecewa dan pulang. Penceramah akhirnya digantikan ustad setempat. 

Untuk menyiapkan maulid, masyarakat mengumpulkan dana. Panitia menggelar tekyan, keliling mencari sedekah warga pulau. Menurut panitia, acara itu menghabiskan lebih dari Rp 20 juta. Karena Ustad tak datang kerugian paling besar tentu nama panitia. Panitia marah dan akan menyoal kasus ini. Kronologi disebar. Dan informasi yang saya tulis ini berdasar kronologi itu. Saya usulkan kepala kronologi diberi judul “Ustad Ingkar Janji”.[] 

Oleh: Alamsyah M. Dja'far
Depok, 05 Februari 2014



Read More
Bintang Diatas Alhambra (BDA) - Alhamdra yang Melintas Waktu
Novel Al-Hambra Di Atas Alhambra

Bintang Diatas Alhambra (BDA) - Alhamdra yang Melintas Waktu

Kecenderungan novel autobiografi biasanya berisi tentang festivalisasi narsisme yang habis-habisan mengeksplorasi pengalaman hidup tokoh utamanya sendirian saja. Biasanya penulis menggunakan kata ganti orang pertama; “aku” dalam menuturkan cerita. Kerap kali sosok “aku” ini menceritakan segala hal dengan pusat cerita dirinya sendiri, dan cenderung abai terhadap tokoh-tokoh lain atau tempat-tempat dalam membangun narasi dan alur cerita. 

Tapi dalam novel Bintang Diatas Alhambra (BDA), kita tidak menjumpai itu. Kita diajak berpetualang pada sebuah bentangan sejarah yang kadang acak, dimana siklus waktu menjadi tidak relevan, masa lalu dan masa kini melebur menjadi satu, untuk kemudian merajutnya menjadi sebuah masa depan. Sebuah petualangan masa kini yang secara bersamaan menghadirkan bentangan masa lalu.

Pada novel-novel autobiografi, biasanya waktu diposisikan sebagai subordinasi gerak yang diukur secara dinamis sebagai sebuah proses dari aksi ke reaksi yang mana penyajian waktu digambarkan dalam bentuk-bentuk kronologis:Past, Present, dan Future- seperti gerak mekanik jarum jam, sehingga montage (gaya pemotongan) dalam mengaturplot atau alur cerita mengekspresikan perubahan, dan memberi bentuk atas waktu. Tapi dalam Bintang Diatas Alhambra (BDA), kita tidak akan menemukan penyajian waktu seperti itu. Dalam hal ini, sang penulis BDA, Ang Zen, membuat deskripsi waktu seakan-akan dibebaskan dari gerak. Ia berusaha memporak-porandakan pakem. Ia mencoba menampilkan sebuah gaya bertutur yang, meminjam istilah Gilles Deleuze, disebut dengan “Imaji-Waktu”.

Imaji-waktu atau imaji langsung atas waktu ialah sebuah sajian di mana imaji tidak lagi menjadi “pelayan” dari sebuah cerita. Ia datang dengan berbagai sensasi dan kejutan disana-sini. Dengan ungkapan yang berbeda, pergantian imaji tidak lagi dapat diduga, ia tidak kronologis. Salah satu bentuk imaji-waktu yang tidak kronologis ini, sudah bisa kita rasakan pada baris pertama novel ini : “Terik matahari tiada ampun menghajar Sierra Nevada. Langit sepenuhnya biru ketika penduduk lokal tengah bersiap untuk  siesta ”.

Dengan mengambil setting Granada, Ang Zen telah menampilkan imaji tak langsung atas waktu, di mana alur cerita dapat dipahami melalui skema sensori-motorik, imaji-persepsi, imaji-afeksi, dan imaji-aksi. Dengan pilihan tidak memulai diksi pertama dari bagian cerita Mimpi di Pesantren , melainkan dimulai dari Pesan Lelaki Tua di Albaicinadalah sebuah strategi penulisan yang tepat dan luar biasa. Ia memporak-porandakan pakem skenario penulisanskema tiga babak (Perkenalan, konflik, dan rekonsiliasi).

Novel Islam ?

Novel ini bercerita tentang kisah Syarif atau Iip, seorang santri Nahdliyyin yang berasal dari sebuah desa kecil di Kuningan, Jawa Barat. Ia mengenal Spanyol pertama kali bukan dari kehebatan tim sepakbolanya, melainkan dari literatur Islam klasik seperti buku Nadzom yang membahas struktur gramatika bahasa arab seperti buku Alfiyyahkarya Ibnu Malik al-Andalusi. Yang mana pengajaran di pesantren tradisional khas Nahdliyyin memang lebih banyak diisi oleh  literatur-literatur yang berasal dari abad pertengahan.

Tetapi nasib telah menghantarkan Iip untuk menginjakkan kaki langsung di pusat peradaban Islam abad pertengahan itu. Ia yang dulu hanya mendengar cerita kejayaan peradaban Islam yang berakhir pada abad ke 15 di Andalusia ketika ia di Pesantren, kini berada persis di pusat peradaban Islam peninggalan Dinasti Abbasiyah itu. Dengan takjub ia menyaksikan Alhambra, istana indah penuh aura magis di Granada, Spanyol. Uniknya, pembaca dibawa berputar dulu ke Melbourne, Australia dengan cerita keluarga kecil di perantauan yang mengharu biru. Dari sanalah petualang menuju Alhambra dimulai, bersama Lisa Gomez, sahabatnya yang sering mengundang cemburu istrinya.

Jika kita bandingkan dengan Novel Laskar Pelangi karya Andera Hirata atau Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazzy, maka Bintang diatas Alhambra adalah sintesis dari keduanya. Bahkan, jika Laskar Pelangi lebih banyak mengeksplorasi perjuangan anak kampung yang kemudian berhasil menempuh pendidikan tinggi di eropa, maka BDA mengeksplorasi kehidupan pesantren tradisional di kampung yang juga penuh warna.

Bintang Diatas Alhambra mengambil setting yang menarik, terbentang dari desa kecil di tanah Parahyangan, lantas ke Melbourne dan berujung di Granada, kota pusat peradaban dunia beratus tahun silam. Jika AAC mengambil setting Kairo, tempat tokoh utama menyelesaikan kuliah, maka BDA mengambil latar Melbourne dan Eropa, juga dengan nuansa kehidupan mahasiswa. Tetapi, jika AAC berani mengambil tema poligami dan perselingkuhan yang mengharu biru, maka BDA tidak masuk ke wilayah itu, meskipun sang tokoh utama, Iip, hidup dalam bayang-bayang dua orang perempuan, yakni Lisa Maria Gomez, sahabatnya dan “Mbun”, istrinya.

Namun, seperti halnya novel Laskar Pelangi dari Andrea Hirata, Salah satu hal yang perlu dikritisi dari novel Bintang Diatas Alhambra adalah muatan nilai-nilai politik etis yang merupakan warisan dari zaman kolonialisme. Pada kedua novel tersebut, penggambaran bahwa peradaban barat lebih maju ketimbang peradaban timur, atau Barat lebihcivilized ketimbang Timur/dunia ketiga sangat terasa. Konsepsi tersebut persis seperti ketika pemerintahan kolonial hindia belanda menerapkan kebijakan politik etis belanda tentang pendidikan untuk pribumi. Tujuan pemerintahan kolonial belanda pada waktu itu adalah: “Membuat kulit hitam (asia) berhati seperti kulit putih(eropa)”. Konsepsi inferioritas inlander ini, suka atau tidak suka, memang masih terasa.

Tapi di atas semua itu, novel Bintang diatas Alhambra merupakan terobosan besar dari tradisi  bertutur dalam dunia sastra. Selain bermutu, buku ini juga bisa menjadi referensi tentang perubahan sosial kaum sarungan. Lebih dari itu, cerita ini menunjukkan bahwa ada lompatan besar dari Iip, kaum santri sarungan yang berkonotasi kampungan, tidak terpelajar, dan terbelakang, menuju santri canggih par excellence ala Cak Nur (Nurcholish Madjid).     

Judul Buku       : Bintang di Atas Alhambra

Penulis             : Ang Zen
Negara            : Indonesia
Bahasa            : Indonesia
Genre              : Novel petualangan
Penerbit          : Bunyan, Kelompok Bentang Pustaka
Terbit              : November 2013
Halaman         : x, 358
ISBN              : ISBN 978-602-7888-86-9


Sa’duddin Sabilurrasad: Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)




Read More

Rabu, 26 Februari 2014

Pemenang Karya Terbaik Festival Film Santri
Film-film yang telah berlomba dalam Festival Film Santri (FFS) pada pertengahan tahun lalu kini dapat ditonton gratis melalui situs Youtube. Sepuluh film santri pilihan "Memahami untuk Menghargai" ini dikerjakan oleh para santri yang berasal dari sepuluh pondok pesantren dari berbagai daerah di Indonesia

Sebelumnya, film-film ini sudah dipertontonkan kepada sedikitnya 3.200 orang di berbagai pesantren, sekolah, kampus di dalam dan luar negeri. Penyelenggaraan festival film yang bertujuan mensosialisasikan toleransi ini, didukung oleh Search for Common Ground (SFCG), The Wahid Institute, serta Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Perlu diketahui, meskipun karya-karya para santri para santri kini sudah dapat ditonton melalui internet, dalam kehidupan sehari-harinya para santri sendiri hanya diperbolehkan menggunakan internet dengan tujuan mengerjakan tugas. Fasilitas internet baru diperbolehkan misalnya yang berlaku di ponpes Sabilul Hasanah, Banyuasin.

Peraturan pembatasan akses penggunaan internet tersebut tidak membuat para santri berhenti berkarya. Para santri tetap memiliki keinginan membuat film-film selanjutnya agar karya mereka dapat ditonton oleh masyarakat luas.

Terdapat sepuluh film pendek yang turut serta dalam Festival Film Santri, yakni “Santri Punk” dari pondok pesantren (ponpes) Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, "Kuda Lumping" dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin Sumatera Selatan, "Mujaji" dari Ponpes As-Shiddiqiyah Tangerang, "Shalawat" dari pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, "Santri bukan Bibit Teroris" dari ponpes Al-Ghazaly Bogor Jawa Barat.

Selain itu ada "Harmoni Sutarji" dari ponpes Darul Ma'arif Lamongan Jawa Timur, "Dhewek be Islam" dari ponpes Al-Ihya Ulumaddin Cilacap Jawa Tengah, "Sasambat" dari ponpes Madinah Rasul, Babakan, Cirebon, Jawa Barat, "Satu Alamat" dari ponpes Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah, "Tata Cara Tante Cora" dari ponpes Nahdlatul Ulum, Sulawesi Selatan. Demikian kabar yang dilansir BeritaSatu.



Post: Iradio
Link: http://www.iradiofm.com/intermezzo/serba-serbi/273-serbaserbi-jakarta/6518-karya-festival-film-santri-dapat-ditonton-gratis
Read More
Pesantren Sabilul Hasanah, Banyuasin Sumsel
Film-film pendek bertemakan perdamaian, kemajemukan dan toleransi buatan para santri kini bisa dinikmati melalui situs Youtube. Sepuluh film santri pilihan ini dikerjakan oleh para santri yang berasal dari sepuluh pondok pesantren dari berbagai daerah di Indonesia.

Sebelumnya film-film tersebut dilombakan dalam Festival Film Santri (FFS) pada pertengahan tahun lalu yang bertema "Memahami untuk Menghargai". Film-film ini sudah dipertontonkan kepada sedikitnya 3.200 orang di berbagai pesantren, sekolah, kampus di dalam dan luar negeri.

Sepuluh film pendek tersebut yakni “Santri Punk” dari pondok pesantren (ponpes) Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, "Kuda Lumping" dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin Sumatera Selatan, "Mujaji" dari Ponpes As-Shiddiqiyah Tangerang, "Shalawat" dari pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, "Santri bukan Bibit Teroris" dari ponpes Al-Ghazaly Bogor Jawa Barat.

Selain itu ada "Harmoni Sutarji" dari ponpes Darul Ma'arif Lamongan Jawa Timur, "Dhewek be Islam" dari ponpes Al-Ihya Ulumaddin Cilacap Jawa Tengah, "Sasambat" dari ponpes Madinah Rasul, Babakan, Cirebon, Jawa Barat, "Satu Alamat" dari ponpes Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah, "Tata Cara Tante Cora" dari ponpes Nahdlatul Ulum, Sulawesi Selatan.

Penyelenggaraan dan sosialisasi toleransi melalui media video dan penyiaran itu didukung oleh Search for Common Ground (SFCG) dan The Wahid Institute serta Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Meskipun karya-karya mereka sudah bisa ditonton melalui internet, para santri sendiri hanya menggunakan internet dengan terbatas. Dengan tujuan mengerjakan tugas, internet baru diperbolehkan misalnya yang berlaku di ponpes Sabilul Hasanah, Banyuasin. Namun demikian, para santri masih ingin membuat film-film selanjutnya agar bisa ditonton oleh masyarakat luas.

Tim pembuat film yang ikut dalam FFS dari ponpes Sabilul Hasanah delapan orang, lima perempuan dan tiga lelaki. Sementara pelajar di ponpes tersebut memang sebagian besar, hingga 60 persen adalah santri perempuan.

"Di Sekayu ada tanah yang kabarnya bisa dimakan," kata Muhammad Rizky Astary, salah satu santri di Sabilul Hasanah ketika ditemui di pondokannya di Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin petang (24/2). Hal tersebut kata dia akan sangat menarik diangkat menjadi film pendek.

Sementara salah satu pimpinan yayasan ponpes itu, Ubaidillah Luai menilai pengetahuan media dan penyiaran akan membawa hal positif bagi para santrinya. Menurutnya, banyak yang berminat belajar keahlian media tersebut. "Sejak tahun 2011 diadakan pelatihan (radio dan video)," kata Ubaidillah.


Post: Berita Satu
Link: http://www.beritasatu.com/film/167996-film-santri-pilihan-bisa-dinikmati-di-youtube.html
Read More